Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI PULAU PUNJUNG
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2020/PN Plj YUHENDRI,SH.MH Kepolisian Negara Republik Indonesia cq Kepolisian Daerah Sumatera Barat, Cq Kepolisian Resor Dharmasraya Minutasi
Tanggal Pendaftaran Kamis, 09 Apr. 2020
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2020/PN Plj
Tanggal Surat Kamis, 09 Apr. 2020
Nomor Surat 1
Pemohon
NoNama
1YUHENDRI,SH.MH
Termohon
NoNama
1Kepolisian Negara Republik Indonesia cq Kepolisian Daerah Sumatera Barat, Cq Kepolisian Resor Dharmasraya
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

1. Bahwa tindakan upaya paksa, yaitu  penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Dimana menurut Andi Hamzah (sebagaimana dikutip dalam buku Luhut M.P. Pangaribuan,  Hukum Acara Pidana: Surat-surat Resmi di pengadilan oleh Advokat: Praperadilan, Eksepsi, Duplik, Memori Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali, Cet.V, Djambatan, Jakarta, 2008, Hal. 39) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.

2.    Bahwa kekuasaan yang besar pada penegak hukum yang dapat dipergunakan secara subjektif, dan kelemahan yang teramat besar bagi orang yang berhadapan dengan hukum yang tergantung pada kekuasaan subjektif penegak hukum. Kewenangan kekuasaan yang besar yang melekat pada penegak hukum yang dapat dipergunakan secara subjektif tersebut, berdasarkan hukum positif yang berlaku saat ini, yang mengatur mengenai aturan penegakan hukum pidana materiil, yaitu KUHAP, tidak memiliki daya control yang cukup memadai untuk mengontrol kekuasaan tersebut, padahal harus dipahami jika “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”, sebagaimana dikemukakan oleh John Emerich Edward Dalberg Acton, first Baron Acton, atau yang terkenal dengan nama Lord Acton.

 

  1. Bahwa Praperadilan merupakan inovasi baru (Lembaga Baru) dalam KUHAP bersamaan dengan inovasi-inovasi yang lain, seperti limitasi dalam proses penangkapan dan penahanan, membuat KUHAP disebut sebagai karya agung (masterpiece). Menurut Hamzah yaitu Praperadilan merupakan tempat pengaduan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).  Apabila dilihat dalam proses pembentukan KUHAP niat dibentuknya praperadilan adalah sebagai terjemahan habeas corpus yang merupakan substansi Hak Asasi Manusia, dan dalam kenyataannya penyusunan KUHAP memang banyak disemangati dan dirujuk pada Hukum Hak Asasi Manusia Internasional yang telah menjadi International Customary Law. (Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana, Surat Resmi Advokat di Pengadilan, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2013, Hal. 92). Dimana praperadilan merupakan kontrol dalam penegakan hukum yang berfungsi untuk menguji secara cermat, teliti dan adil tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.

 

  1. Bahwa lembaga praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 sampai 83 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik/penuntut umum telah sesuai dengan undang-undang dan tindakan tersebut telah dilengkapi dengan administrasi penyidikan secara cermat atau tidak, karena pada dasarnya tuntutan praperadilan menyangkut sah atau tidaknya tindakan penyidik atau penuntut umum didalam melakukan penyidikan atau penuntutan.

 

  1. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

  1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
  1. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

  1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
  2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

7.    Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut Satjipto Rahardjo disebut sebagai  ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia, dimana salah satu fungsi penting dari hukum adalah tujuan kembar dari masyarakat yang sedang membangun, yaitu hukum yang memberikan orientasi sekaligus koreksi atas jalannya pembangunan, bukan hukum yang hanya memberikan legimasi kepada kekuasaan, (Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1975, Hal. 3 Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.

8.   Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang dilahirkan oleh Hakim yang Progresif, membaca perkembangan sosial yang terjadi ditengah masyarakat, yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :

  1. Putusan Mahkamah Agung Nomor :  88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012
  2. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang Nomor : 01/Pid.Prap/ 2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011
  3. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor :  38/Pid.Prap/ 2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012
  4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor :  04/Pid.Prap/ 2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015
  5. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 36/Pid.Prap/ 2015/PN.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015
  6. Dan lain sebagainya

Dimana dalam pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor :  04/Pid.Prap/ 2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015 tersebut:                            “-------- Menimbang, bahwa larangan menolak untuk memeriksa, mengadili memutus perkara itu dibarengi dengan kewajiban bagi hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai dan rasa keadilan yang hidup  dalam masyarakat, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009, yang redaksi lengkapnya berbunyi “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” .

9.    Bahwa sebagaimana kita ketahui KUHAP sudah diundangkan hampir 40 tahun yang  lalu yaitu pada tahun 1981, maka  ternyata pasal-pasal di KUHAP tidak mampu melindungi hak warga secara maksimal, hingga potensi terlanggarnya hak-hak warga masih belum terjamin di KUHAP sepenuhnya.

10. Bahwa selanjutnya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor  : 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 tidak hanya menambah dan memperluas akan tetapi juga memperkuat kekuassan yudikatif dalam melakukan penerobosan hukum yaitu dengan  diakuinya lembaga praperadilan juga dapat untuk memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

Pihak Dipublikasikan Ya